PEMBAHARUAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. PENDAHULUAN
Sejak ratusan tahun yang lalu di kalangan umat islam di
seluruh dunia, termasuk Indonesia terjadi ketidakjelasan tentang arti dan ruang
lingkup pengertian syari'ah islam, kadang-kadang disamakan dengan fikih, bahkan
adakalanya disamakan dengan ad-Din. Oleh karena kesalahan dalam memakai arti
syari'ah islam ini, maka mengakibatkan kekacauan dan saling menyalahkan dalam
berbagai bidang kehidupan umat islam. Keadaan seperti ini telah menyebabkan
ketidakseragaman dalam menentukan apa yang disebut dengan hukum islam,
ketidakjelasan melaksanakan syari'ah islam dan tidak mampu mempergunakan apa
yang telah tersedia dalam Undang-undang Dasar 1945 dan peraturan
perundang-undang lainnya. Keadaan seperti ini menyebabkan para pakar hukum
Islam belum dapat memberikan definisi hokum Islam secara tepat dan memenuhi
syarat "par genus et diffentun", karena dalam praktik terjadi
tumpang tindih antara syari'ah, fikih dan hukum Islam secara bersamaan.[1]
Menurut Amir Syarifuddin secara etimologis
"syariah" bearti jalan ke tempat pengairan, jalan yang mesti harus
dituruti atau tempat lalu air di sungai. Sedangkan menurut pengertian istilah
yang dimaksud dengan syari'ah adalah segala Kitab Allah yang berhubungan dengan
tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur sendiri.
Mahmoud Syalthout mengemukakan bahwa secara sistematis "fikih"
bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Sedangkan menurut
istilah "fikih" adalah mengetahui hukum-hukum syara' yang
bersifat amaliah yang dikaji dan dalil-dalil terperinci.
Menurut Hasbi Ash Siddieqy hukum Islam yang sebenarnya tidak
lain adalah fikih Islam atau syari'at Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan
fikih Islam adalah hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan hukum atau
syari'at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
B. KONSEP PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Dalam literature Hukum Islam Kontemporer, kata "pembaruan"
silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi,
reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjid, islah, tajlid. Di antara
kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata "reformasi"
"islah" dan "tajlid". Reformasi berasal
dari bahasa Inggris "reformasi" yang berarti membentuk atau menyusun
kembali. Reformasi sama artinya dengan memperbarui, asal kata "Baru"
dengan arti memperbaiki supaya menjadi baru atau mengganti dengan yang baru,
menggantikan atau menjadikan baru, atau proses perbuatan, cara memperbarui,
proses pengembangan adat istiadat atau cara hidup yang baru. "tajdid"
mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali atau
memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan
kata "islah" diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki.
Bustami Muhammad Saad mengemukakan bahwa kata
"tajdid" adalah lebih tepat digunakan untuk membahas tentang
pembaruan hukum, sebab kata tajdid mempunyai arti pembaruan, sedangkan kata
"Islah" meskipun sering digunakan secara berdampingan tetapi lebih
berat pengertiannya kepada pemurniaan.
C. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA
PERUBAHAN
Memerhatikan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat
diketahui bahwa pembaharuan hukum islam telah terjadi dalam kurun waktu yang
cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta sesuai dengan tuntutan
zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang terkandung dalam
kitab-kitab fikih sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai
masalah yang pada masa kitab-kitab fikih itu ditulis oleh para fuqaha, masalah
baru itu belum terjadi. Sebagai contoh antara lain adalah perkawinan yang ijab
kabulnya dilakukan dengan pesawat telepon, pemberian harta warisan kepada anak
angkat dengan cara wasiat wajibah, wakaf dalam bentuk yang tunai, dan
sebagainya. Terhadap hal ini telah mendorong Negara untuk mengaturnya dalam
berbagai peraturan perundang agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaannya.
Pembaruan hukum Islam disebabkan karena adanya perubahan
kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari faktor-faktor yang telah
dikemukakan di atas. Perubahan ini adalah sejalan dengan teori qaul qadim dan
qaul tajdid yang dikemukakan oleh Imam Syafi'i bahwa hukum dapat juga
berubah karena berubahnya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu
dalam melaksanakan maqashidus syari'ah. Perubahan hukum perlu
dilaksanakan secara terus-menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relatife
sedangkan kebenaran perlu ditemukan atau didekatkan sedekat mungkin, maka
ijtihad sebagai metode penemuan kebenaran itu perlu terus dilaksanakan. Itulah
sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus bersifat baru pula.
Ijtihad tidak pernah tertutup, dan setiap saat harus selalu terbuka untuk
menemukakan jawaban terhadap hukum baru dalam menghadapi arus globalisasi yang
terjadi saat ini.
D. PERANAN IJTIHAD DALAM PEMBARUAN HUKUM
ISLAM
Kata "Ijtihad" dalam Lisan ul Arab terambil dari
kata al-Jahd dan al-Juhd, secara etimologi erarti al-Thaqah yaitu
tenaga, kuasa, dan daya. Menurut arti ijtihad berarti mencurahkan tenaga,
memeras pikiran, berusaha dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan semaksimal
mungkin untuk mendapat sesuatu yang diharapkan. Menurut istilah, ijtihad adalah
supaya maksimal dari seorang fikih (mujtahid) dalam memperoleh ketentuan
hukum yang bersifat dhanni. Menurut al-Ghazali, melakukan ijtihad
merupakan perbuatan yang bersifat dhanni yang sangat berat dan sulit,
hasil dari ijtihad tersebut harus diyakini baik oleh mujtahid itu sendiri
maupun oleh pengikutnya.
Di samping pengertian ijtihad sebagaimana tersebut di atas,
para pakar hukum Islam memberikan batasan pengertian ijtihad dalam arti sempit
dan luas. Menurut pengetian yang sempit ijtihad sama artinya dengan pengertian qiyas,
dengan kata ijtihad itu hanya menjalankan qiyas atau membandingkan suatu
hukum dengan hukum yang lain. Sedangkan dalam arti yang luas, ijtihad adalah
mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara' dari
kittabullah dan hadis atau usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syari'at
dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang serius. Sedangkan
menurut Ushulliyun ijtihad adalah pencurahan kemampuan secara maksimal
yang dilakukan oleh mujtahid (fuqaha) untuk mendapatkan zdan
(dugaan kuat) tentang hukum syara'.
Pemikiran ijtihad dalam pembaruan hukum Islam meliputi dua
hal yaitu, pertama: Ketegasan agama dalam menyebutkan suatu persoalan
adalah memang sengaja sebagai rahmat kepada umatnya. Dengan demikian, para
mujtahid dapat leluasa memberikan interpretasinya dan merealisasikannya sesuai
dengan kehendak agama melalui proses ijtihad, analog, mashlahat mursalah,
istihsan, istishab, dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa ada sebagian
bidang hukum telah dirinci oleh Al-Qur'an dan al-Hadis, tetapi ada juga
teks-teks hukum tidak disebutkan secara tegas dan rinci tetapi hanya bersifat
global, realisasinya dilakukan oleh pemikiran dan penelitian para ahli dengan
melandasi diri dengan dasar-dasar umum syari'at Islam, sehingga hukum-hukum
yang dihasilkan sejalan dengan situasi, kondisi dan kepentingan masyarakatnya. Kedua
: menjelaskan teks-teks yang zdanni, baik dalam hal orientasinya
(hadis-hadis nabi pada umumnya bersifat demikian) maupun zdanni dalam
pengertian yang dapat dipahami.
E. METODE IJTIHAD DALAM PEMBARUAN HUKUM
ISLAM
Imam Abu Hanifah dalam melaksanakan ijtihad tidak hanya dalam
bidang fatwa agama saja, tetapi ia mampu menciptakan metode-metode baru dalam
berijtihad di luar metode ijtihad yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Dalam
berijtihad ia berani menyisihkan hadis ahad dari sumber hukum dan
mengambil istishan sebagai pengembangan dari qiyas yang telah ada
sebelumnya.
Dalam waktu yang bersamaan, muncul pula pikiran Imam Malik
bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amar al-Madany (93-179 H). Beliau adalah
salah satu murid dari Imam Rabi'a ar-Ra'yu seorang ahli fikih Nasional dari
generasi tabi'in. imam Malik juga melahirkan metode baru dalam kajian hukum
islam yang dipergunakan dalam berijtihad. Metode ijtihad yang dikembangkan
adalah metode "istishlah" yaitu menyelesaikan segala persoalan
hukum yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam nash dengan mengacu pada
kemaslahatan umum manusia yang secara keseluruhan bertumpu pada maqashid
al-syari'ah. Metode ijtihad yang dikembangkan oleh Imam Malik ini tidak
sepenuhnya baru, sebab sebelumnya Umar Ibn Khattab telah memulainya, tetapi
imam Malik telah menyempurnakan teori ini dengan sistematis da senantiasa
memberkan legalitas syar'I terhadap semua teorinya.
F. KOSEP PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian
hukum dalam memutuskan suatu perkara, Departemen Agama cq Biro Peradilan Agama
melalui Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ditujukan
kepada Pengadilan Agama dan pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia agar
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkata supaya berpedoman kepada 13
Kitab Fikih yang sebagian besar Kitab Fikih tersebut berlaku dikalangan mazhab
syafi'i. dalam tataran aplikasi, penggunaan 12 Kitab Fikih sebagai rujukan di
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara telah terjadi
perselisihan paham antara hakim Peradilan Agama terhadap substansi dari
Kitab-kitab Fikih tersebut. Tidak jarang Hakim Peradilan Agama mengambil
substansi dari kitan-kitab fikih lain di luar kitab-kitab fikih tersebut dalam
memutus suatu perkara, sehingga tidak ada kepastian hukum terhadap perkara yang
diputus oleh Pengadilan Agama, sebab dalam kasus yang sama putusannya dapat
berbeda antara sah satu hakim dengan hakim yang lain.
Langkah awal yang dilaksanakan oleh para pembaru hukum Islam
di Indonesia adlah mendobrak paham ijtihad telah tertuthup, dan membuka kembali
kajian-kajian tentang hukum Islam dengan metode komprehensif yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Berusaha agar hukum Islam tetap eksis sepanjang zaman.
Paham yang mengatakan lebih baik bertaklid dari pada membuat hukum baru, segera
harus dihilangkan. Mengusahakan agar hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum
nasional dan dapat menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara.
Menurut Nourrouzzaman, Hasbi Ash Shiddieqy adlah orang
pertama yang mengeluarkan gagasan agar fikih yang diterapkan di Indonesia harus
berkepribadian Indonesia dan untuk mewujudkan hal itu maka perlu dibuat
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Beliau mendirikan Lembaga Fikih Islam
Indonesia (LEFISI) yang berkedudukan di Yogyakarta. Lembaga ini telah banyak
memberikan kontribusi dalam kajian perubahan hukum islam yang bercorak
Indonesia.